Faktor utama yang
menjadi penyebab kemunduran serta kehancuran suatu bangsa adalah karena
lemahnya kesatuan dan persatuan. Suatu bangsa yang besar agar tetap dapat
mempertahankan kebesaran bangsanya mutlak harus memegang teguh modal ini,
memperkokoh serta memperkuat persatuannya. Namun sejarah selalu terulang,
sejarah kehancuran suatu bangsa di masa lalu selalu luput dijadikan ibrah
bagi bangsa sesudahnya. Maka tidak salah kalau ada ungkapan, ‘bangsa yang
besar adalah bangsa yang mampu belajar dari sejarah silamnya’.
Kita tahu, walaupun
faktor yang menjadi penyebab runtuh atau hancurnya suatu bangsa itu beragam,
spesifik dan memiliki karakter sendiri-sendiri. Namun sesungguhnya muaranya
sama, bersumber dari satu kesalahan yang serupa, berpecah belah. Sehingga
dengan pecah belahnya kesatuan, dengan sendirinya akan melemahkan kekuatannya.
Dengan demikian karena kelemahan itu, maka akan lebih mudah disusupi lawan,
hingga diserang pihak luar yang memusuhinya. Karena disadari atau tidak suatu
bangsa yang besar niscaya akan selalu ada pihak yang memusuhinya.
Seperti yang telah
dibahas pada pertemuan sebelumnya, bahwa Kerajaan Mughal pada masa pemerintahan
Babur sampai Aurangzeb mengalami masa tumbuh, berkembang bahkan sampai
mengalami puncak keemasan. Walaupun dalam perjalanannya masih terdapat onak
duri, tetapi kerajaan ini dapat terus berkembang dan ditakuti bangsa lain. Kita
tahu, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, karena
para penguasanya waktu itu memiliki watak yang keras dalam memimpin, sehingga
ini juga yang menjadikan mereka sebagai pemimpin yang penuh wibawa.
Keadaan itu berubah
ketika kerajaan Mughal dipimpin oleh sultan-sultan pasca Aurangzeb. Memasuki
abad ke-18 M, terutama setelah meninggalnya Aurangzeb, Kerajaan Mughal mengalami
masa kemunduran dan berakhir dengan kehancuran. Diantara faktor kehancuran
tersebut karena kesultanan Mughal diperintah oleh generasi-generasi yang lemah.
Sampai tahun 1858 M, sultan-sultan Mughal tidak mampu lagi mengendalikan
wilayah yang cukup luas dan kekuatan lokal Hindu yang cukup dinamis, di samping
karena konflik di antara mereka sendiri yang berebut kekuasaan.[1]
Diantara sultan-sultan itu adalah Bahadur Syah (1707-1712 M), Azimusyah
(1712-1713 M), Farukh siyar (1713-1719 M), Muhammad Syah (1719-1748 M), Ahmad
Syah (1748-1754 M), Alamghir II (1754-1759 M), Syah Alam (1761-1806 M), Akbar
II (1806-1837 M) dan Bahadur Syah II (1837-1858 M).
Selain itu, menurut
Badri Yatim bahwa pada periode ini banyak muncul gerakan-gerakan separtis yang
mengancam integritas wilayahnya, baik orang-orang Hindu di India Utara,
orang-orang Sikh di belahan utara, maupun gerakan separatis yang berasal dari
orang-orang Islam di Bagian Timur.[2]
Dari empat sumber yang
saya baca, buku Dr. Ading merupakan buku yang paling lengkap dalam menjelaskan
faktor-faktor yang mendorong kekuasaan Mughal mengalami kemunduran, dan
berujung kehancuran. Diantara faktor-faktor tersebut ialah:
A. Adanya Perebutan kekuasaan pada periode Sultan lemah dan
juga serakah.
Masalah perebutan kekuasaan sebenarnya telah terjadi pada
Sultan-sultan sebelumnya. Jika kita membaca kembali kisah Aurangzeb ketika
hendak menduduki kekuasaan, terjadi perebutan yang mengakibatkan Dara Syikoh
–saudaranya sendiri- terbunuh oleh Aurangzeb. Bahkan Aurangzeb tanpa belas
kasihan memenjarakan ayahnya sendiri, Syah Jahan.
Namun, pada periode tersebut, ketika terjadi perebutan
kekuasaan, para pemenang dalam perebutan kekuasaan tersebut umumnya adalah
orang-orang yang kuat dan berwibawa serta sanggup membawa Kerajaan Mughal
mengarungi arus pasang naik.[3]
Penguasa-penguasa kerajaan Mughal pasca Aurangzeb pada
umumnya tergolong raja-raja lemah yang tidak sanggup menghadapi kenyataan dan
tidak mampu mengatasi kesulitan.
Bahadur Syah I (1707-1712 M), ia menganut aliran
Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia
dihadapkan pada perlawanan Syikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya.
Ia juga dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang
terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka.[4]
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang
cukup lama, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bahadur
diganti anaknya, Azimusyah (1712-1713 M). akan tetapi,
pemerintahannya ditentang oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan, wazir Aurangzeb.
Azimus Syah meninggal tahun 1712 M dan diganti oleh putranya, Jihandar Syah,
yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah dapat
disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M. [5]
Faruk Siyar berkuasa sampai pada tahun 1719 M dengan
dukungan kelompok Sayyid, tetapi tewas di tangan para pendukungnya sendiri pada
tahun 1719 M. Sebagai gantinya, Muhammad Syah diangkat sebagai Sultan.
Namun,belum lama berkuasa, ia dan para pendukungnya harus menerima pil pahit
untuk terusir dari India karena suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah
melakukan penyerbuan. Dalam perkembangannya, Muhammad Syah tidak banyak
bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah.
Setelah Muhammad Syah meninggal, tahta kerajaan dipegang
oleh Ahmad Syah (1748-1754 M), kemudian diteruskan oleh Alamghir II (1754-1759
M) dan Syah Alam (1761-1806 M). pada tahun 1706 M, Kerajaan Mughal diserang
oleh Ahmad Khan Durani dari Afgan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan
sejak itu berada di bawah kekuasaan Ahmad Khan Durani meskipun Syah Alam tetap
diizinkan memakai gelar Sultan.[6]
Karena sibuknya para elit dalam memperebutkan kekuasaan,
maka pengawasan terhadap daerah-daerah yang telah dikuasai menjadi lemah,
sehingga daerah-daerah tersebut satu persatu mulai melepaskan loyalitasnya
terhadap pemerintahan. Mereka cenderung memperkuat pemerintahannya
masing-masing.[7]
B. Kebijakan Represif Sultan Aurangzeb yang menimbukan
banyaknya pemberontakan
Seperti kita ketahui,
bahwa sultan Aurangzeb dalam pemerintahannya terlalu memaksakan kehendaknya,
terlebih kepada mereka para penganut agama lain. Agama Hindu misalnya. Sultan
Aurangzeb menganggap agama ini bertentangan dengan keselamatan kerajaan.
Beratus-ratus sekolah Hindu ditutup dan dibongkar. Demikian pula, candi-candi
yang indah di Benares, Mathuara dan Rajputana. Ia juga pernah memerlihatkan
tangan besinya. Beberapa kuil ada yang diubah menjadi mesjid.[8]
Dari kejadian tersebut,
dapat dibayangkan bagaimana sakit hatinya orang-orang Hindu dengan perilaku
Aurangzeb tersebut. Makanya ketika Aurangzeb meninggal, masyarakat Hindu banyak
yang meluapkan emosinya tanpa ada kendali yang mengekangnya.
Dalam pandangan
Aurangzeb, ada tiga golongan masyarakat di India yang diberi predikat sebagai
pemberontak. Pertama, golongan Rajput. Kelompok ini adalah kaum
pemberani yang jujur. Mereka tidak mau mengakui kekuasaan Mughal. jika tidak
diganggu , mereka tidak mengganggu. Mereka ingin bebas bergerak. Membiarkan
mereka adalah lebih baik dan paling baik. Kedua, kelompok Sikh. Kelompok
ini sedang mencari sintetis agama. Mereka lebih senang disebut Muslim,
sekalipun keislamannya tidak sempurna. Akan tetapi, dalam beberapa hal, mereka
masih mencintai atribut Hindu. Mereka umumnya hidup bergerombol, gayanya mirip
para kesatria. Mereka sangat mencintai tanah airnya dan senang menjadi pembela
kebenaran. Basis mereka adalah Punjab dan Kashmir. Ketiga, golongan
Maratha. Aurangzeb mengibaratkan kelompok ini seperti duri di dalam daging.
Kelompok Maratha adalah musuh besar Aurangzeb yang selalu mengintai-ngintai
kelemahan lawan. Kelompok ini terorganisasi dengan baik. Umumnya ara anggotanya
dari kelas masyarakat Sudra dan tidak mengakui kasta. Sebenarnya kelompok ini
bukanlah sekedar kelompok keagamaan, melainkan memiliki tujuan politik.[9]
C. Konflik Agama
Wilayah anak benua India
adalah wilayah tempat lahir dan bertemunya agama-agama besar dunia. 600 SM
Hindu telah dikenal oleh masyarakat India, hal ini berarti ketika Islam dibawah
kerajaan Mihal hadir, agama Hindu telah berusia lebih dari dua ribu tahun.
Tidak lama setelah itu,
datanglah ajaran Budha. Agama yang dibawa oleh Sidharta Gautama ini masuk ke
India pada 500 SM. Selanjutnya, dengan melihat letak kedekatan antara India
dengan Persia, sangat memungkinkan jika banyak orang Persia yang hidup menetap
atau mengembara di India. Mereka memperkenalkan agama Zoroaster. Kemudian tidak
lama setelah itu Islam datang dibawah kerajaan Mughal. Tidak hanya itu,
orang-orang Eropa muncul dengan membawa agama Kristen.[10]
Menurut ketentuan,
setiap agama harus berjalan di atas rel masing-masing. Berjalan di luar rel
berarti menyeleweng. Sultan Akbar dalam pemerintahannya, banyak berbuat untuk
kepentingan Mughal. Di samping memperistri beberapa orang putri dari kalangan
Hindu dan menyejajarkan orang Muslim dengan orang Hindu dalam pemerintahan,
Akbar juga membuat agama baru, Din Illahi yang dapat dipergunakan oleh
semua agama secara bersama, sehingga yang banyak itu seperti satu agama[11].
Bahkan, Akbar mengangkat dirinya sebagai wasit tertinggi dalam masalah agama
selangkah lebih maju lagi, Akbar sebagai agama baru yang unsur-unsurnya banyak
mengambil dari Hindu, Nasrani dan Islam telah mewajibkan kepada rakyatnya untuk
bersujud kepada Akbar.
Yang perlu
dipermasalahkan dalam hal ini adalah mengapa Akbar melakukan hal semacam itu?
Salah satu pertimbangannya ini berasal dari asusmi bahwa Akbar sebagai perantau
dan masuk golongan minoritas, jika ingin sukses dan tetap berkuasa dalam
memegang tampuk pimpinan, sebagai pihak minoritas harus mendekati kelompok
mayoritas. Masyarakat Hindu dan Budaha merupakan kelompok mayoritas, oleh
karena itu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh Akbar banyak menguntungkan
kelompok mayoritas tersebut, sekalipun mengorbankan kepentingan masyarakat
Muslim sebagai kelompok Minoritas.
D. Saling berebut pengaruh dalam kegiatan perdagangan
Sejak dahulu daerah
benua India ramai karena menjadi tempat persinggahan para pedagang dari jalur
laut. Sebagai contoh, Gujarat pernah menjadi tempat persinggahan para pedagang
dari jalur laut dengan para pedagang melalui darat. Perubahan ini telah terjadi
sejak di Laut Tengah sedang berkecamuk Perang Salib. Para pedagang dari timur
yang biasanya mengambil jalan Samarkand – Baghdad - Iskandariyah, terpaksa
berbelok ke selatan, lewat Gujarat -Laut Merah - Sungai Nil - Iskandariyah
karena jalan Baghdad dan Turki menjadi tidak aman. Meskipun semenanjung di
Afrika Selatan sudah ditemukan orang, belum banyak dilewati kecuali mereka yang
sudah biasa. Pada saat itulah India memperoleh kekayaan secara mutlak melalui
perdagangan atau perpajakan.
Ketika orang-orang
Inggris pertama kali datang di pantai Kalikut pada tahun 1498 M, India sedang
diperintah oleh raja-raja yang merdeka, satu sama lain saling menyerang dan
berperang. Faktor inilah yang menyebabkan Portugis memilih tempat yang
strategis di Pesisir Barat India. Sejak saat itulah, Portugis menetap di India
dan melaksanakan perdagangannya secara langsung, tanpa perantara. Sudah tentu keuntungan
yang diperolehnya cukup banyak, sehingga dalam waktu 100 tahun, semua
perdagangan rempah-rempah jatuh ke tangan Portugis, baik yang melalui Laut
Merah maupun Semenanjung Harapan.
Hal ini mengundang
orang-orang Barat yang lain untuk dapat bersama-sama tinggal di Pantai
tersebut. Orang Belanda yang sudah mengenal Indonesia pada tahun 1956 M juga
ingin mengadu nasib di pantai India, dengan mengambil daerah di Gujarat. Tahun
1608 M, Inggris mencoba mengikuti Belanda, tetapi nasibnya tidak beruntung. Pada
tahun 1610 M, Inggris mendapat izin menetap di India, mengambil lokasi di
Pantai Timur, dari Koromandel, Gulkondah, terus ke Madras. Saat itulah, Ingris
mendirikan Peserikatan Dagang India Timur (The British east Indian Company),
dan membentuk serdadu dalam jumlah kecil, dengan dalih sebagai penjaga
pabrik dari serangan pencuri. Saat itulah, benteng Inggris diperkuat oleh
tentara.
Dari gambaran tersebut,
tampak bahwa kehadiaran bangsa-bangsa Eropa ke wilayah India pada awalnya tidak
terlalu banyak memberikan pengaruh terhadap khidupan dan perkembangan ekonomi
Kerajaan Mughal, sebagai salah satu sumber pendapatannya. Akan tetapi,
kehadiran bangsa-bangsa Eropa lambat laun mulai memberikan pengaruh terhadap
pendapat negara yang semakin hari semakin menurun dan berkurang. Keinginan
bangsa-bangsa Eropa yang datang ke wilayah India yang disertai dengan melakukan
kegiatan perdagangan yang bersifat monopoli telah mengurangi pendapatan
Kerajaan Mughal. keadaan ini telah memberikan implikasi terhadap kemunduran kerajaan,
terlebih ketika di Kerajaan Mughal banyak kerusuhan dan pemberontakan yang
memerlukan biaya besar untuk memadamkan pemberontakan itu. Pendapatan
berkurang, sementara biaya untuk keperluan kerajaan semakin membengkak.
Kondisi ini tampak
dengan jelas, terutama sesudah meninggalnya Aurangzeb pada tahun 1707 M, ketika
kesatuan kerajaan besar Islam Mughal dalam keadaan terpecah belah, sementara
kerajaan Mughal menghadapi banyak masalah yang harus diselesaikan.
E. Intervensi Asing
Kegiatan intervensi
Ingris terhadap kerajaan Mughal memberikan implikasi terhadap kemunduran dan
kehancuran kerajaan ini. Jika ditelusuri, hal ini berawal dari permohonan Inggris
untuk tinggal di India pada tahun 1608 M yang ditolak oleh penguasa dari
Kerajaan Mughal. Inggris baru diterima masuk India pada tahun 1610 M. pada saat
itulah, Inggris mendirikan pabrik, loji dan membentuk tentara dalam jumlah
kecil, sebagai penjaga lodi. Kemudian, pantai timur India dikuasai dan dipertahankan
Inggris.
Sebagai uji coba pada
tahun 1757, Ingris melakukan kegiatan penyerangan terhadap Benggala. Meskipun
mendapat perlawanan dari rakyat setempat, Inggris mampu mengatasi perlawanan
tersebut dengan kemenangan dipihak Inggris. Rupanya Robert Clip memang seorang
yang ahli dalam bidang militer. Sesudah Benggala diduduki, daerah-daerah Pantai
Timur India sepenuhnya berada di tangan Inggris.
Selanjutnya, menurut
strategi militer orang-orang Inggris, kekuatan di India yang patut
diperhitungkan tinggallah kerajaan Islam Mughal yang wilayahnya hanya sekitar Delhi
dan kekuatan tentaranya sudah dapat diketahui. Untuk itu, strategi yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut. Peetama, membiarkan kerajaan ini
terlebih dahulu, sambil melihat keadaan di kanan dan kiri. Kedua, menurut
strategi keadaan militer keberadaan kaum Maratha yang tujuannya tidak lepas
dari harta dan sudah diketahui pula posisi-posisi kuncinya oleh Inggris. Oleh
karena itu Inggris mengadakan pertemuan dengan pemimpin kelompok Maratha di
Najpur dan di Gujarat pada tahun 1780 M. Pada saat itulah, Inggris memberikan
taktik suap dengan harapan kekuatan Maratha melemah. Dengan cara-cara inilah,
kekuatan Maratha jadi bertambah kendur, bahkan akan berpindah tempat, jika
Inggris memang memerlukan. Ketiga, dalam menghadapi kaum Sikh, Inggris
bersikap lunak, bahkan setengah membiarkan, sebab Sikh pada sat itu sudah
bergabung dengan Gurkha, penduduk asli Nepal Inggris pun membiarkan mereka
mengambil lokasi daerah Punjab. Akan tetapi ada tahun 1849 Inggris terpaksa
menyerang orang-orang Sikh yang berada di Kashmir, menggempur dan mengalahkan
mereka, tetapi tidak menghabisi riwayatnya. Sejak itulah Kashmir dikuasai
Inggris sehingga hanya satu yang belum dikuasai, yaitu Delhi.
Sebagaimana telah
disebutkan diatas, sikap Inggris dalam menghadapi Kerajaan Mughal selalu
bersifat waspada dan sabar menunggu. Ketika melihat kenyataan, kerajaan Mughal
semakin lemah karena terjadi perebutan kekuasaaan diantara sesama saudara,
disamping karena faktor keuangan yang semakin menipis; sebuah perusahaan
Inggris British East Indian Company (BEIC) yang sudah kuat
mengangkat senjata melawan pemerintah Kerajaan Mughal. peperangan berlangsung
berlarut-larut. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai dengan menyerahkan
Oud, Bengal, dan Orisa kepada Inggris. Sementara itu, Najib ad-Daula, wazir
Mughal dikalahkan oleh aliansi Sikh-Hindu, sehingga Delhi dikuasai Sindhia dari
Marathas. Akan tetapi Shindia dapat dihalau kembali oleh Syah Alam dengan
bantuan Inggris pada tahun 1803 M.
Sultan Syah Alam
meningal pada tahun 1806 M. tahta Kerajaan Mughal selanjutnya dipegang oleh
Akbar II (1806-1837). Pada masa pemerintahannya, Akbar memberikan konsesi
kepada BEIC untuk mengembangkan usahanya di Anak Benua India sebagaimana yang
diinginkan Inggris, tetapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan
keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan berada ditangan Inggris meskipun
kedudukan dan gelar sultan masih dipetahankan. Bahadur Syah (1837-1858),
sebagai penerus Akbar tidak menerima isi perjanjian antara BEIC dan ayahnya,
sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan tersebut.[12]
Ia menyadari bahwa biaya kerajaan ternyata ditanggung oleh orang asing,
sehingga sang ayah tidak mampu mengambil inisiatif untuk memajukan kerajaan.
Dalam hati Bahadur Syah timbul penilaian bahwa Inggris sudah semakin berani dan
perbuatan mirip seperti penguasa atau penjajah, tetapi terselubung. Sebagai
keturunan Timur yang Agung, Bahadur Syah merasa malu harus menengadahkan tangan
dan menerima pemberian orang lain.
Pada waktu yang sama,
pihak BEIC mengalami kerugian karena penyelenggaraan administrasi perusahaan
yang kurang efesien, padahal mereka harus tetap menjamin kehidupan istana.
Untuk menutupi kerugian sekaligus memenuhi kebutuhan istana, BEIC mengadakan
pungutan tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena merasa
ditekan, masyarakat India, baik yang beragama Hindu maupun Islam, bangkit
mengadakan pemberontakan. Mereka meminta Bahadur Syah untuk menjadi lambang
perlawanan itu dalam rangka mengembalikan kekuasaan Kerajaan Mughal di India.[13]
Oleh karena itu, dengan
diam-diam Bahadur Syah berusaha menggalang satu kekuatan yang ditujukan untuk
mengusir segala bentuk penjajahan. Kemudian, sesudah menghimpun kekuatan, terjadilah
perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Inggris pada bulan Mei 1857 M.
Akan tetapi mereka dapat
dipatahkan dengan mudah karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa
lokal Hindu dan Muslim. Kemudian Inggris menjatuhkan hukuman yang kejam
terhadap para pemberontak. Mereka disuir dari kota Delhi. Rumah-rumah ibadah
banyak yang dihancurkan dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir diusir dari
istana. Dengan demikian berakhirlah sejarah kerajaan Mughal di daratan India.
Di sana, hanya tersisa umat Islam yang harus berjuang mempertahankan
eksistensinya, karena sejak itu hukum yang berlaku di India adlah hukum
Britania dan bahasa resmi yang dipergunakan adalah bahasa Inggris.
Itulah beberapa faktor
yang menyebabkan kemunduaran dan kerajaan Mughal. menurut Badri Yatim, kerajaan
ini mengalami kemunduran dan kehancuran disebabkan hal berikut ini. Pertama,
terjadinya stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehinga operasi
militer Inggris diwilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh
kekuatan maritim Mughal. begitu juga, kekuatan pasukan darat. Umumnya, pasukan
Mughal kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan produk Kerajaan Mughal
sendiri. Kedua, kemerosotan moral
dan berkembangnya budaya hidup mewah dikalangan elite politik yang
mengakibatkan pemborosan dalam pengguanaan uang negara. Ketiga, semua
pewaris tahta kerajaan pasca-Aurangzeb adalah orang-orang lemah dalam bidang
kepemimpinan.[14]
Tulisan ini dibuat
sebagai tugas makalah mata kuliah SPI Pertengahan di Pascasarjana UIN Sunan
Gunung Djati Bandung..
DUDIN SAMSUDIN
[1] Ajid Thahir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Rajagrafindo Pers, hlm. 212
[2] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers bekerja sama dengan Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) Jakarta, hlm. 159
[3] Ading Kusdiana, Sejarah
dan Kebudayaan Islam periode Pertengahan, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 253
[4] Badri Yatim, ibid, hlm.
160
[5] Badri Yatim, ibid. hlm.
160
[6] Badri Yatim, ibid. hlm.
161
[7] Sebagai contoh, Hiderabad
dikuasai Nizam Al-Muluk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan
pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai
oleh kelompok Sikh, Oud dikuasai oleh Sadat Khan, dan Bengal dikuasai Syujai’al
Din, menantu Qursyid Qulli, penguasa Bengal yang diangkat Aurangzeb.
[8] A. Mustadjib, Kerajaan
Mughal di India ; Pembentukan dan Kemajuan, Makalah, Jakarta : IAIN Syarif
Hidayatullah, hlm. 13.
[9] Ading Kusdiana, Sejarah
dan Kebudayaan Islam periode Pertengahan, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 256
[10] Ading Kusdiana, ibid. hlm.
257
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, Terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta ; Rajawali Pers, Jilid
II, hlm. 700
[12] Badri Yatim, loc.cit. hlm.
162
[13] Badri Yatim, loc.cit. hlm.
162
[14] Badri Yatim, loc.cit. hlm.
163
0 komentar
Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^