Sabtu , 26 April 2025

KERAJAAN MUGHAL : KEMUNDURAN DAN KEHANCURANNYA



Faktor utama yang menjadi penyebab kemunduran serta kehancuran suatu bangsa adalah karena lemahnya kesatuan dan persatuan. Suatu bangsa yang besar agar tetap dapat mempertahankan kebesaran bangsanya mutlak harus memegang teguh modal ini, memperkokoh serta memperkuat persatuannya. Namun sejarah selalu terulang, sejarah kehancuran suatu bangsa di masa lalu selalu luput dijadikan ibrah bagi bangsa sesudahnya. Maka tidak salah kalau ada ungkapan, ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu belajar dari sejarah silamnya’.
Kita tahu, walaupun faktor yang menjadi penyebab runtuh atau hancurnya suatu bangsa itu beragam, spesifik dan memiliki karakter sendiri-sendiri. Namun sesungguhnya muaranya sama, bersumber dari satu kesalahan yang serupa, berpecah belah. Sehingga dengan pecah belahnya kesatuan, dengan sendirinya akan melemahkan kekuatannya. Dengan demikian karena kelemahan itu, maka akan lebih mudah disusupi lawan, hingga diserang pihak luar yang memusuhinya. Karena disadari atau tidak suatu bangsa yang besar niscaya akan selalu ada pihak yang memusuhinya.
Seperti yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya, bahwa Kerajaan Mughal pada masa pemerintahan Babur sampai Aurangzeb mengalami masa tumbuh, berkembang bahkan sampai mengalami puncak keemasan. Walaupun dalam perjalanannya masih terdapat onak duri, tetapi kerajaan ini dapat terus berkembang dan ditakuti bangsa lain. Kita tahu, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, karena para penguasanya waktu itu memiliki watak yang keras dalam memimpin, sehingga ini juga yang menjadikan mereka sebagai pemimpin yang penuh wibawa.
Keadaan itu berubah ketika kerajaan Mughal dipimpin oleh sultan-sultan pasca Aurangzeb. Memasuki abad ke-18 M, terutama setelah meninggalnya Aurangzeb, Kerajaan Mughal mengalami masa kemunduran dan berakhir dengan kehancuran. Diantara faktor kehancuran tersebut karena kesultanan Mughal diperintah oleh generasi-generasi yang lemah. Sampai tahun 1858 M, sultan-sultan Mughal tidak mampu lagi mengendalikan wilayah yang cukup luas dan kekuatan lokal Hindu yang cukup dinamis, di samping karena konflik di antara mereka sendiri yang berebut kekuasaan.[1] Diantara sultan-sultan itu adalah Bahadur Syah (1707-1712 M), Azimusyah (1712-1713 M), Farukh siyar (1713-1719 M), Muhammad Syah (1719-1748 M), Ahmad Syah (1748-1754 M), Alamghir II (1754-1759 M), Syah Alam (1761-1806 M), Akbar II (1806-1837 M) dan Bahadur Syah II (1837-1858 M).
Selain itu, menurut Badri Yatim bahwa pada periode ini banyak muncul gerakan-gerakan separtis yang mengancam integritas wilayahnya, baik orang-orang Hindu di India Utara, orang-orang Sikh di belahan utara, maupun gerakan separatis yang berasal dari orang-orang Islam di Bagian Timur.[2]
Dari empat sumber yang saya baca, buku Dr. Ading merupakan buku yang paling lengkap dalam menjelaskan faktor-faktor yang mendorong kekuasaan Mughal mengalami kemunduran, dan berujung kehancuran. Diantara faktor-faktor tersebut ialah:
A.   Adanya Perebutan kekuasaan pada periode Sultan lemah dan juga serakah.
Masalah perebutan kekuasaan sebenarnya telah terjadi pada Sultan-sultan sebelumnya. Jika kita membaca kembali kisah Aurangzeb ketika hendak menduduki kekuasaan, terjadi perebutan yang mengakibatkan Dara Syikoh –saudaranya sendiri- terbunuh oleh Aurangzeb. Bahkan Aurangzeb tanpa belas kasihan memenjarakan ayahnya sendiri, Syah Jahan.
Namun, pada periode tersebut, ketika terjadi perebutan kekuasaan, para pemenang dalam perebutan kekuasaan tersebut umumnya adalah orang-orang yang kuat dan berwibawa serta sanggup membawa Kerajaan Mughal mengarungi arus pasang naik.[3]
Penguasa-penguasa kerajaan Mughal pasca Aurangzeb pada umumnya tergolong raja-raja lemah yang tidak sanggup menghadapi kenyataan dan tidak mampu mengatasi kesulitan.
Bahadur Syah I (1707-1712 M), ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Syikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka.[4]
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bahadur diganti anaknya, Azimusyah (1712-1713 M). akan tetapi, pemerintahannya ditentang oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan, wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M dan diganti oleh putranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah dapat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M. [5]
Faruk Siyar berkuasa sampai pada tahun 1719 M dengan dukungan kelompok Sayyid, tetapi tewas di tangan para pendukungnya sendiri pada tahun 1719 M. Sebagai gantinya, Muhammad Syah diangkat sebagai Sultan. Namun,belum lama berkuasa, ia dan para pendukungnya harus menerima pil pahit untuk terusir dari India karena suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah melakukan penyerbuan. Dalam perkembangannya, Muhammad Syah tidak banyak bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah.
Setelah Muhammad Syah meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh Ahmad Syah (1748-1754 M), kemudian diteruskan oleh Alamghir II (1754-1759 M) dan Syah Alam (1761-1806 M). pada tahun 1706 M, Kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durani dari Afgan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu berada di bawah kekuasaan Ahmad Khan Durani meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar Sultan.[6]
Karena sibuknya para elit dalam memperebutkan kekuasaan, maka pengawasan terhadap daerah-daerah yang telah dikuasai menjadi lemah, sehingga daerah-daerah tersebut satu persatu mulai melepaskan loyalitasnya terhadap pemerintahan. Mereka cenderung memperkuat pemerintahannya masing-masing.[7]

B.    Kebijakan Represif Sultan Aurangzeb yang menimbukan banyaknya pemberontakan
Seperti kita ketahui, bahwa sultan Aurangzeb dalam pemerintahannya terlalu memaksakan kehendaknya, terlebih kepada mereka para penganut agama lain. Agama Hindu misalnya. Sultan Aurangzeb menganggap agama ini bertentangan dengan keselamatan kerajaan. Beratus-ratus sekolah Hindu ditutup dan dibongkar. Demikian pula, candi-candi yang indah di Benares, Mathuara dan Rajputana. Ia juga pernah memerlihatkan tangan besinya. Beberapa kuil ada yang diubah menjadi mesjid.[8]
Dari kejadian tersebut, dapat dibayangkan bagaimana sakit hatinya orang-orang Hindu dengan perilaku Aurangzeb tersebut. Makanya ketika Aurangzeb meninggal, masyarakat Hindu banyak yang meluapkan emosinya tanpa ada kendali yang mengekangnya.
Dalam pandangan Aurangzeb, ada tiga golongan masyarakat di India yang diberi predikat sebagai pemberontak. Pertama, golongan Rajput. Kelompok ini adalah kaum pemberani yang jujur. Mereka tidak mau mengakui kekuasaan Mughal. jika tidak diganggu , mereka tidak mengganggu. Mereka ingin bebas bergerak. Membiarkan mereka adalah lebih baik dan paling baik. Kedua, kelompok Sikh. Kelompok ini sedang mencari sintetis agama. Mereka lebih senang disebut Muslim, sekalipun keislamannya tidak sempurna. Akan tetapi, dalam beberapa hal, mereka masih mencintai atribut Hindu. Mereka umumnya hidup bergerombol, gayanya mirip para kesatria. Mereka sangat mencintai tanah airnya dan senang menjadi pembela kebenaran. Basis mereka adalah Punjab dan Kashmir. Ketiga, golongan Maratha. Aurangzeb mengibaratkan kelompok ini seperti duri di dalam daging. Kelompok Maratha adalah musuh besar Aurangzeb yang selalu mengintai-ngintai kelemahan lawan. Kelompok ini terorganisasi dengan baik. Umumnya ara anggotanya dari kelas masyarakat Sudra dan tidak mengakui kasta. Sebenarnya kelompok ini bukanlah sekedar kelompok keagamaan, melainkan memiliki tujuan politik.[9]
C.   Konflik Agama
Wilayah anak benua India adalah wilayah tempat lahir dan bertemunya agama-agama besar dunia. 600 SM Hindu telah dikenal oleh masyarakat India, hal ini berarti ketika Islam dibawah kerajaan Mihal hadir, agama Hindu telah berusia lebih dari dua ribu tahun.
Tidak lama setelah itu, datanglah ajaran Budha. Agama yang dibawa oleh Sidharta Gautama ini masuk ke India pada 500 SM. Selanjutnya, dengan melihat letak kedekatan antara India dengan Persia, sangat memungkinkan jika banyak orang Persia yang hidup menetap atau mengembara di India. Mereka memperkenalkan agama Zoroaster. Kemudian tidak lama setelah itu Islam datang dibawah kerajaan Mughal. Tidak hanya itu, orang-orang Eropa muncul dengan membawa agama Kristen.[10]
Menurut ketentuan, setiap agama harus berjalan di atas rel masing-masing. Berjalan di luar rel berarti menyeleweng. Sultan Akbar dalam pemerintahannya, banyak berbuat untuk kepentingan Mughal. Di samping memperistri beberapa orang putri dari kalangan Hindu dan menyejajarkan orang Muslim dengan orang Hindu dalam pemerintahan, Akbar juga membuat agama baru, Din Illahi yang dapat dipergunakan oleh semua agama secara bersama, sehingga yang banyak itu seperti satu agama[11]. Bahkan, Akbar mengangkat dirinya sebagai wasit tertinggi dalam masalah agama selangkah lebih maju lagi, Akbar sebagai agama baru yang unsur-unsurnya banyak mengambil dari Hindu, Nasrani dan Islam telah mewajibkan kepada rakyatnya untuk bersujud kepada Akbar.
Yang perlu dipermasalahkan dalam hal ini adalah mengapa Akbar melakukan hal semacam itu? Salah satu pertimbangannya ini berasal dari asusmi bahwa Akbar sebagai perantau dan masuk golongan minoritas, jika ingin sukses dan tetap berkuasa dalam memegang tampuk pimpinan, sebagai pihak minoritas harus mendekati kelompok mayoritas. Masyarakat Hindu dan Budaha merupakan kelompok mayoritas, oleh karena itu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh Akbar banyak menguntungkan kelompok mayoritas tersebut, sekalipun mengorbankan kepentingan masyarakat Muslim sebagai kelompok Minoritas.
D.   Saling berebut pengaruh dalam kegiatan perdagangan
Sejak dahulu daerah benua India ramai karena menjadi tempat persinggahan para pedagang dari jalur laut. Sebagai contoh, Gujarat pernah menjadi tempat persinggahan para pedagang dari jalur laut dengan para pedagang melalui darat. Perubahan ini telah terjadi sejak di Laut Tengah sedang berkecamuk Perang Salib. Para pedagang dari timur yang biasanya mengambil jalan Samarkand – Baghdad - Iskandariyah, terpaksa berbelok ke selatan, lewat Gujarat -Laut Merah - Sungai Nil - Iskandariyah karena jalan Baghdad dan Turki menjadi tidak aman. Meskipun semenanjung di Afrika Selatan sudah ditemukan orang, belum banyak dilewati kecuali mereka yang sudah biasa. Pada saat itulah India memperoleh kekayaan secara mutlak melalui perdagangan atau perpajakan.
Ketika orang-orang Inggris pertama kali datang di pantai Kalikut pada tahun 1498 M, India sedang diperintah oleh raja-raja yang merdeka, satu sama lain saling menyerang dan berperang. Faktor inilah yang menyebabkan Portugis memilih tempat yang strategis di Pesisir Barat India. Sejak saat itulah, Portugis menetap di India dan melaksanakan perdagangannya secara langsung, tanpa perantara. Sudah tentu keuntungan yang diperolehnya cukup banyak, sehingga dalam waktu 100 tahun, semua perdagangan rempah-rempah jatuh ke tangan Portugis, baik yang melalui Laut Merah maupun Semenanjung Harapan.
Hal ini mengundang orang-orang Barat yang lain untuk dapat bersama-sama tinggal di Pantai tersebut. Orang Belanda yang sudah mengenal Indonesia pada tahun 1956 M juga ingin mengadu nasib di pantai India, dengan mengambil daerah di Gujarat. Tahun 1608 M, Inggris mencoba mengikuti Belanda, tetapi nasibnya tidak beruntung. Pada tahun 1610 M, Inggris mendapat izin menetap di India, mengambil lokasi di Pantai Timur, dari Koromandel, Gulkondah, terus ke Madras. Saat itulah, Ingris mendirikan Peserikatan Dagang India Timur (The British east Indian Company), dan membentuk serdadu dalam jumlah kecil, dengan dalih sebagai penjaga pabrik dari serangan pencuri. Saat itulah, benteng Inggris diperkuat oleh tentara.
Dari gambaran tersebut, tampak bahwa kehadiaran bangsa-bangsa Eropa ke wilayah India pada awalnya tidak terlalu banyak memberikan pengaruh terhadap khidupan dan perkembangan ekonomi Kerajaan Mughal, sebagai salah satu sumber pendapatannya. Akan tetapi, kehadiran bangsa-bangsa Eropa lambat laun mulai memberikan pengaruh terhadap pendapat negara yang semakin hari semakin menurun dan berkurang. Keinginan bangsa-bangsa Eropa yang datang ke wilayah India yang disertai dengan melakukan kegiatan perdagangan yang bersifat monopoli telah mengurangi pendapatan Kerajaan Mughal. keadaan ini telah memberikan implikasi terhadap kemunduran kerajaan, terlebih ketika di Kerajaan Mughal banyak kerusuhan dan pemberontakan yang memerlukan biaya besar untuk memadamkan pemberontakan itu. Pendapatan berkurang, sementara biaya untuk keperluan kerajaan semakin membengkak.
Kondisi ini tampak dengan jelas, terutama sesudah meninggalnya Aurangzeb pada tahun 1707 M, ketika kesatuan kerajaan besar Islam Mughal dalam keadaan terpecah belah, sementara kerajaan Mughal menghadapi banyak masalah yang harus diselesaikan.
E.    Intervensi Asing
Kegiatan intervensi Ingris terhadap kerajaan Mughal memberikan implikasi terhadap kemunduran dan kehancuran kerajaan ini. Jika ditelusuri, hal ini berawal dari permohonan Inggris untuk tinggal di India pada tahun 1608 M yang ditolak oleh penguasa dari Kerajaan Mughal. Inggris baru diterima masuk India pada tahun 1610 M. pada saat itulah, Inggris mendirikan pabrik, loji dan membentuk tentara dalam jumlah kecil, sebagai penjaga lodi. Kemudian, pantai timur India dikuasai dan dipertahankan Inggris.
Sebagai uji coba pada tahun 1757, Ingris melakukan kegiatan penyerangan terhadap Benggala. Meskipun mendapat perlawanan dari rakyat setempat, Inggris mampu mengatasi perlawanan tersebut dengan kemenangan dipihak Inggris. Rupanya Robert Clip memang seorang yang ahli dalam bidang militer. Sesudah Benggala diduduki, daerah-daerah Pantai Timur India sepenuhnya berada di tangan Inggris.
Selanjutnya, menurut strategi militer orang-orang Inggris, kekuatan di India yang patut diperhitungkan tinggallah kerajaan Islam Mughal yang wilayahnya hanya sekitar Delhi dan kekuatan tentaranya sudah dapat diketahui. Untuk itu, strategi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Peetama, membiarkan kerajaan ini terlebih dahulu, sambil melihat keadaan di kanan dan kiri. Kedua, menurut strategi keadaan militer keberadaan kaum Maratha yang tujuannya tidak lepas dari harta dan sudah diketahui pula posisi-posisi kuncinya oleh Inggris. Oleh karena itu Inggris mengadakan pertemuan dengan pemimpin kelompok Maratha di Najpur dan di Gujarat pada tahun 1780 M. Pada saat itulah, Inggris memberikan taktik suap dengan harapan kekuatan Maratha melemah. Dengan cara-cara inilah, kekuatan Maratha jadi bertambah kendur, bahkan akan berpindah tempat, jika Inggris memang memerlukan. Ketiga, dalam menghadapi kaum Sikh, Inggris bersikap lunak, bahkan setengah membiarkan, sebab Sikh pada sat itu sudah bergabung dengan Gurkha, penduduk asli Nepal Inggris pun membiarkan mereka mengambil lokasi daerah Punjab. Akan tetapi ada tahun 1849 Inggris terpaksa menyerang orang-orang Sikh yang berada di Kashmir, menggempur dan mengalahkan mereka, tetapi tidak menghabisi riwayatnya. Sejak itulah Kashmir dikuasai Inggris sehingga hanya satu yang belum dikuasai, yaitu Delhi.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, sikap Inggris dalam menghadapi Kerajaan Mughal selalu bersifat waspada dan sabar menunggu. Ketika melihat kenyataan, kerajaan Mughal semakin lemah karena terjadi perebutan kekuasaaan diantara sesama saudara, disamping karena faktor keuangan yang semakin menipis; sebuah perusahaan Inggris British East Indian Company (BEIC) yang sudah kuat mengangkat senjata melawan pemerintah Kerajaan Mughal. peperangan berlangsung berlarut-larut. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai dengan menyerahkan Oud, Bengal, dan Orisa kepada Inggris. Sementara itu, Najib ad-Daula, wazir Mughal dikalahkan oleh aliansi Sikh-Hindu, sehingga Delhi dikuasai Sindhia dari Marathas. Akan tetapi Shindia dapat dihalau kembali oleh Syah Alam dengan bantuan Inggris pada tahun 1803 M.
Sultan Syah Alam meningal pada tahun 1806 M. tahta Kerajaan Mughal selanjutnya dipegang oleh Akbar II (1806-1837). Pada masa pemerintahannya, Akbar memberikan konsesi kepada BEIC untuk mengembangkan usahanya di Anak Benua India sebagaimana yang diinginkan Inggris, tetapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan berada ditangan Inggris meskipun kedudukan dan gelar sultan masih dipetahankan. Bahadur Syah (1837-1858), sebagai penerus Akbar tidak menerima isi perjanjian antara BEIC dan ayahnya, sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan tersebut.[12] Ia menyadari bahwa biaya kerajaan ternyata ditanggung oleh orang asing, sehingga sang ayah tidak mampu mengambil inisiatif untuk memajukan kerajaan. Dalam hati Bahadur Syah timbul penilaian bahwa Inggris sudah semakin berani dan perbuatan mirip seperti penguasa atau penjajah, tetapi terselubung. Sebagai keturunan Timur yang Agung, Bahadur Syah merasa malu harus menengadahkan tangan dan menerima pemberian orang lain.
Pada waktu yang sama, pihak BEIC mengalami kerugian karena penyelenggaraan administrasi perusahaan yang kurang efesien, padahal mereka harus tetap menjamin kehidupan istana. Untuk menutupi kerugian sekaligus memenuhi kebutuhan istana, BEIC mengadakan pungutan tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena merasa ditekan, masyarakat India, baik yang beragama Hindu maupun Islam, bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka mengembalikan kekuasaan Kerajaan Mughal di India.[13]
Oleh karena itu, dengan diam-diam Bahadur Syah berusaha menggalang satu kekuatan yang ditujukan untuk mengusir segala bentuk penjajahan. Kemudian, sesudah menghimpun kekuatan, terjadilah perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Inggris pada bulan Mei 1857 M.
Akan tetapi mereka dapat dipatahkan dengan mudah karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Kemudian Inggris menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka disuir dari kota Delhi. Rumah-rumah ibadah banyak yang dihancurkan dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir diusir dari istana. Dengan demikian berakhirlah sejarah kerajaan Mughal di daratan India. Di sana, hanya tersisa umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensinya, karena sejak itu hukum yang berlaku di India adlah hukum Britania dan bahasa resmi yang dipergunakan adalah bahasa Inggris.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan kemunduaran dan kerajaan Mughal. menurut Badri Yatim, kerajaan ini mengalami kemunduran dan kehancuran disebabkan hal berikut ini. Pertama, terjadinya stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehinga operasi militer Inggris diwilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. begitu juga, kekuatan pasukan darat. Umumnya, pasukan Mughal kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan produk Kerajaan Mughal sendiri. Kedua,  kemerosotan moral dan berkembangnya budaya hidup mewah dikalangan elite politik yang mengakibatkan pemborosan dalam pengguanaan uang negara. Ketiga, semua pewaris tahta kerajaan pasca-Aurangzeb adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.[14]

Tulisan ini dibuat sebagai tugas makalah mata kuliah SPI Pertengahan di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung..
DUDIN SAMSUDIN






[1] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : Rajagrafindo Pers, hlm. 212
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Pers bekerja sama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) Jakarta, hlm. 159
[3] Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam periode Pertengahan, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 253
[4] Badri Yatim, ibid, hlm. 160
[5] Badri Yatim, ibid. hlm. 160
[6] Badri Yatim, ibid. hlm. 161
[7] Sebagai contoh, Hiderabad dikuasai Nizam Al-Muluk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh, Oud dikuasai oleh Sadat Khan, dan Bengal dikuasai Syujai’al Din, menantu Qursyid Qulli, penguasa Bengal yang diangkat Aurangzeb.
[8] A. Mustadjib, Kerajaan Mughal di India ; Pembentukan dan Kemajuan, Makalah, Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah, hlm. 13.
[9] Ading Kusdiana, Sejarah dan Kebudayaan Islam periode Pertengahan, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 256
[10] Ading Kusdiana, ibid. hlm. 257
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta ; Rajawali Pers, Jilid II, hlm. 700
[12] Badri Yatim, loc.cit. hlm. 162
[13] Badri Yatim, loc.cit. hlm. 162
[14] Badri Yatim, loc.cit. hlm. 163
KERAJAAN MUGHAL : KEMUNDURAN DAN KEHANCURANNYA
Item Reviewed: KERAJAAN MUGHAL : KEMUNDURAN DAN KEHANCURANNYA 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
:)
:(
=(
^_^
:D
=D
@@,
;)
:-bd
:-d
(y)
:o
:thumbup
:2thumbup
:iloveindonesia
:ilovekaskus
:kiss
:genit
:marah
:berduka
:D
:najis
:malu
:ngakak
:repost
:sup2
:batabig
:takut
:ngacir
:shakehand
:bingung
:waduh
:cekpm
:capedeh
:hammer
:peluk
:cendol
:hoax
:selamat
:matabelo
:mewek
:request
:sorry
:salahkamar
:rate5
:cool
:sup:
:kbgt
:nohope
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!